Minggu, 20 Desember 2009

Cerita pendek

Malam Yang Semakin Dingin

Airmata ini mengalir begitu saja. Mencoba meringankan bebanku yang terasa semakin berat. Aku lelaki yang tak pernah menangis. Kali ini kegagalanku telah meruntuhkan pertahananku. Aku merasa gagal sebagai seorang kakak. Aku sangat merindukan ibu yang tak mungkin lagi dapat ku peluk ketika aku merasa sedih.

***

Siang itu, aku pulang ke rumah dari tempat kerja. Aku berharap dapat melepas lelahku barang sejenak. Namun, keadaan tidak seperti yang kuharapkan. Ibu tiriku langsung menghampiriku dan memintaku untuk masuk di ruang tamu. Di dalam ada beberapa orang termasuk bapak dan orang lain itu, jika tak salah adalah teman Rian,adik laki-lakiku.

Hatiku bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
Ternyata memang benar wanita itu Alya, teman adikku. Dia datang bersama ibunya dan mengabarkan bahwa Rian sudah menghamili Alya. Bahkan usia kandungannya sudah memasuki minggu ke-21. Kurang lebih sudah lima bulan berjalan. Bagai petir di siang hari, kakiku serasa lumpuh tak bertulang. Alya mengandung anak adikku? Ya Allah, kenapa semua ini terjadi pada keluargaku? Apa kata orang-orang nanti jika tahu bahwa Rian sudah menghamili orang di luar nikah. Kasihan bapak menanggung ini semua. Akhirnya bapak mengambil keputusan bahwa dari pihak keluarga kami akan melamar Alya dua hari kemudian. Mereka pun pulang.

Bapak mengeluh, bagaimana kami mendapatkan uang menikahkan Rian dengan Alya padahal bapak tidak bekerja. Sementara dari pihak wanita ingin resepsi yang meriah. Apa mereka tidak merasa malu, anaknya hamil di luar nikah malah mau diadakan resepsi yang meriah.
Aku benar-benar merasa letih hari ini. Beban terasa berat di pundakku.
Sore harinya, aku membicarakan masalah ini dengan Rian di dapur tempat kami biasa berkumpul dengan keluarga.
“ Tadi siang pacarmu datang bersama ibunya. Mereka menanyakan kapan kamu akan menikahinya. Apa kamu sudah berpikir tentang masalah ini?” aku bertanya dengan hati-hati karena aku tahu Rian pasti juga kebingungan dengan masalah ini.
“ Ah, apa urusamu? Yang mau nikah aku kok kamu yang sewot” sambil berkata begitu, dia keluar.
Aku berusaha sabar menghadapi adikku. Walaupun hatiku sangat sakit. Jika kubiarkan saja masalah ini, aku kasihan dengan bapak. Namun, Rian sendiri seperti acuh tak acuh. Rencanaku untuk membahagiakan bapak kandas oleh ulah Rian. Dia sangat sering mempermalukan keluaga ini. Namun, kali ini ulahnya sudah kelewat batas.

***

Malam ini, bapak mengajak pakde untuk melamar Alya. Aku menyuruh Rian untuk bersiap-siap.
“ Sudah sana mandi. Pakde sudah menunggu.”
“ Memangnya siapa yang mau pergi?” kata Rian sekenaknya.
“ Rian, kamu sekarang harus ikut bapak. Apa kamu tidak mengasihani bapak? Kamu yang berbuat harus berani bertanggung jawab” aku sudah mulai emosi.
“ Buat apa? Biar saja. Aku tidak mau menikahi dia! Aku tidak mau masa depanku hancur karena harus menikah. Aku memang melakukan itu, tapi kan belum tentu anak yang dikandungnya itu anakku! Kenapa kamu ikut campur dengan urusanku?” kata-kata Rian sangat membuatku naik darah.
Pertengkaran kami pun tak terelakkan. Aku begitu sangat marah sampai terasa sakit kepalaku. Tanganku melayang di pipi adik laki-lakiku itu. Amat keras sehingga tanganku pun terasa sakit. Dia terpental jatuh dan kulihat cairan merah merembes keluar dari lubang hidungnya.
Secepat aku menamparnya, secepat itu pula aku menyesal.
Pakde segera menenangkanku dan bapak membantu Rian berdiri. Adik dan ibu tiriku hanya bisa menangis melihat pertengkaran kami. Hatiku semakin remuk melihat Rian mengusap cairan merah itu. Baru pertama kali aku memukul adikku karena kesalahannya.
Aku pun pergi meninggalkan situasi itu. Kusinggkirkan lengan pakde dan aku berlari keluar. Kuhidupkan skuter dan aku melaju membelah malam.

***
Aku berdiri di depan makam ibu ketika telepon genggamku berdering. Ternyata bapak yang menelpon. Bapak menyuruh aku pulang untuk menjaga ibu dan adikku di rumah. Kata bapak, Rian sudah sadar karena diberi pengertian oleh pakde. Dia sudah memutuskan untuk bertanggung jawab dengan perbuatanya dan saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah Alya. Namun, hatiku sudah terlanjur remuk redam. Aku malu dengan keadaan keluargaku. Walau begitu, aku memutuskan untuk pulang. Aku percaya, Tuhan tidak akan memberi cobaan yang berat di luar batas kemampuan umatNya.




Cerpen karya Ainun Ainiyah
Dipersembahkan untuk Abi semoga mendapat kekuatan dan lindungan oleh Allah SWT. Amin.

1 komentar:

  1. True story yow...
    Paragraf terakhir, kalimat terakhir,,,setuju...
    :)

    BalasHapus